PENGERTIAN ULUMUL HADIST DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ulumul hadist merupakan ilmu yang membahas berbagai ilmu dalam
hadist, pembagianh hadist, jarh wa ta’dil, rijalul hadist, dan asbabul wurud.
Oleh sebab itu
kami akan membahas dalam makalah ini ulumul hadist dan pembagiannya, jarh wa
ta’dil, rijalul hadist dan asbabul wurud, sehingga pembaca mampu memahami
mengenei ilmu tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian ulumul hadist pembagianh hadist?
2.
Apa
pengertian jarh wa ta’dil?
3.
Apa
pengertian rijalul hadist, dan asbabul wurud?
C.
Tujuan dan Manfaat
1.
Mengetahui
pengertian dari ulumul hadist dan bagiannya.
2.
Mengetaahui
pengertian jarh wa ta’dil.
3.
Mengetahui
pengertian rijalul hadist dan asbabul wurud.
D.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ulumul Hadist
Istilah Ulumul Hadist berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari
dua kata, yaitu Ulumu dan Al-Hadist. Kata Ulum merupakan bentuk jama’ dari kata
‘ilm yang berarti gambaran sesuatu tentang akal.[1]
Dalam kaca mata Nur al-Din ‘Itr, diartikan dengan sesuatu yang membedakan
dengan ma’rifat.[2]
Ilmu diungkap secara keseluruhan (kulliyah) sedangkan ma’rifat diungkap secara
juz’iyyah. Sedangkan istilah al-Hadis secara etimologis berarti lawan qadium,
sesuatu yang baru, kabar atau berita dari seseorang.[3]
Adapun hadis secara istilah memiliki arti yang bernacam-macam
menurut perspektif ahli yang memberikan maknanya. Ulama hadis mendefinisikan
hadis sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw tetapi juga
kepada sahabat nabi dan para tabi’in.
Dengan demikian , istilah ulumul al-Hadist adalah ilmu yang
berkaitan dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini didasarkan atas banyaknya
ragam dan macam keilmuan yang bersangkutan dengan hadis. Dari sinilah ulama
mutaqadimin merumuskan ilmu hadis dengan ilmu pengetahuan yang membicarakan
tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah saw dari segi
ihwal periwayatnya yang menyangkut ke-adil-an dank e-dabit-an dan dari sisi
bersambung atau terputusnya sanad dan sebagainya.[4]
Secara global ruang lingkup kajian Ulumul al-Hadis terdiri dari dua
bagian:
1.
Ilmu Hadis Riwayat
Ilmu Hadis
Riwayat adalah ilmu yang menukilkan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw baik perkataan, perbuatan, atau taqrir ataupun sifat anggota tubuh
ataupun sifat-sifat perangainya.[5]
Tujuan
pembahasan ilmu hadis riwayat dalah untuk mempelajari hadis dari sisi
hubungannya dengan pribadi Nabi Muhammad saw untuk memahami dan mengamalkan
ajaran-ajarannya guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[6] Di
samping itu, ilmu ini juga bertujuan untuk menjaga sunnah secara tepat dan
menjaga kesalahan atas penyalinan apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw.[7]
Ulama hadis yang membahas hadis dalam perspektif ilmu riwayat ini adalah Ibn
Syihab al-Zuhri (51-124 H). Beliau menghimpun hadis atas instruksi Umar ibn
‘Abd al-Aziz.[8]
2.
Ilmu Hadis Dirayat
Ilmu hadis
dirayat adalah ilmu dalam arti khusus. Sebagaimana diungkapakan oleh Ibn
Akhfani yaitu ilmu yang di dalamnya untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan yang berhubungan dengannya.[9]
Dengan demikian, ilmu hadis dirayat adalah sekumpulan dari kaidah-kaidah dan
masalah-masalah yang di dalamnya dapat diketahui keadaan riwayat dan periwayat
dari sisi diterima atau ditolak.
Objek kajian
ilmu hadis tersebut adalah sanad, rawi, dan matan hadis. Sedangkan tujuan dari
mempelajari ilmu hadis dirayat adalah untuk mengetahui dan menetapkan diterima
atau ditolaknya suatu hadis.
Pembahasan ilmu
dirayat sudah dilaksanakan sejak abad ke-2 H. Namun pembahasan pada saat itu
masih terserak-serak dalam berbagai kitabdan belum dimasukkan dalam kitab
khusus serta belum menjadi disiplin keilmuwan tersendiri. Diantara ulama hadis
yng membicarakannya adalah Ali ibn Madani (161-234 H), Bukhari (198-252 H),
Muslim (204-261 H), dan al-Turmuzi (200-279).
B.
Struktur Hadis
1.
Sanad
Sanad secara
bahasa dapat diartikan dengan sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran.[10]
Sedangkan menurut istilah sebagaimana diungkap oleh al-Badr ibn al-Jama’ah dan
al-Tibby, keduanya menyatakan bahwa sanad adalah pemberitaan tentang munculnya
suatu matan hadis.[11]
Sedangkan ulama lain memberikan pengertian yaitu silsilah atau rentetan para
periwayat yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.[12]
Dengan demikian dapat dikatakan sanad adalah jalan yang menghubungkan matan
hadis kepada Nabi Muhammad saw.
Rawi (Periwayat)
Rawi adalah orang yang menyampaikan
atau menuliskan hadis dalam suatu kitab apa yang pernah diterimanyadari seorang
gurunya.[13]
Periwayat hadis dapat disebut juga dengan orang yang memberitakan suatu hadis
atau meriwayatkannya.
2.
Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung
jalan, tanah yang keras dan tinggi.[14]
Sedangkan dalam istilah hadis matan adalah sabda nabi yang disebut dengan teks
hadis.[15]
Contoh
dari sanad, matan, dan rawi:
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابى سفيان عن اكرمة بن
خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله ص.م. بني الاسلام على خمس
شهادة ان لااله الاالله وان محمد رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج وصوم
رمضان.
(رواه البخار)
(رواه البخار)
1.
Sanad:
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابى سفيان عن اكرمة بن
خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال:
2.
Matan:
قال رسول الله ص.م. بني الاسلام على خمس شهادة ان لااله الاالله وان
محمد رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج وصوم رمضان
3.
Rawi
رواه البخار
C.
Makna Asbabal-Wurud
Asbab al-wurud al-hadis didefinisikan sebagai keadaan-keadaan dan
hal
ihwal yang menjadi sebab datangnya hadis Nabi Saw. Dengan membandingkan pada
pembahasan ulama tafsir, mereka memperkenalkan dua macam asbab al-nuzul,
yaitu:
a. Asbab al-nuzul al-khas,
yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya
suatu ayat.6
b. Asbab al-Nuzul al-‘Am,
yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannya oleh ayat
al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat
itu. Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial
pada masa turunnya al-Qur’an (setting sosial).
Dengan
analogi pada Asbab al-Nuzul, maka Asbab al-Wurud juga bisa dibagi
menjadi dua macam, yaitu Asbab al-Wurud al-Khash dan Asbab
al-Wurud
al-’Am dengan pengertian sebagaimana
dinyatakan diatas. Dalam Asbab al-Wurud tercakup tiga hal pokok yang
tidak dapat diabaikan, yaitu : (1) peristiwa, (2) pelaku dan (3) waktu, yang
masingmasing mempunyai kontribusi untuk memberi makna sebuah teks hadis.
Dalam
kaitannya dengan teks (Al-Qur’an dan al-Hadis) yang lahir
karena sebab-sebab tertentu, mayoritas Ulama mengemukakan kaidah: al-‘ibrah
bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam
memahami teks adalah keumuman lafal, bukan sebab khususnya). Dengan berpijak
pada kaidah ini, pandangan menyangkut Asbab al-Wurud dan pemahaman hadis
seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan waktu
terjadinya serta pelaku kejadian tersebut. Dengan menggunakan kaidah itu, maka
teks yang bersifat umum (‘am) yang muncul atas sebab tertentu mencakup
individu yang mempunyai sebab itu dan lain-lainnya. Dan tidak boleh dipahami
bahwa lafal ‘am itu hanya dihadapkan kepada orang-orang tertentu saja.
Ibn Taimiyah berkata bahwa para Ulama walaupun berbeda pendapat dalam
menghadapi lafal umum yang datang lantaran sesuatu sebab, apakah khusus bagi
sebab itu, namun tak ada seorangpun yang menyatakan bahwasanya keumuman
Al-Qur’an dan al-Sunnah khususdengan orang-oarang tertentu. Hanya saja paling
jauh dikatakan bahwa keumuman lafal itu tertentu dengan orang-orang yang
semacam itu lalu ia mencakup orang-orang yang menyerupainya. Dan tidaklah
keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab yang tertentu jika
merupakan perintah atau larangan, maka ia mencakup oranga-orang itu dan
selainnya, yang sama keadaannya/kedudukannya. Lafal ‘am dalam sebuah
teks walaupun munculnya karena dilatarbelakangi oleh sebab-sebab khusus, ia
mencakup seluruh individu yang bisa ditampung oleh teks itu, tidak tertentu dan
terbatas berlakunya hanya kepada individu yang menjadi sebab khusus iahimya
teks. Untuk memahami asbabul al-wurud berikut contoh hadis dan sebab
peristiwa turunnya hadis tersebut.
Hadis
tentang Mandi Jum’at
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayat -an hadis dari A dullah Ibn Umar sebagai berikut :
“Apabila salah seorang di antara kamu sekalian mendatangi shalat
jum’at, maka hendaklah mandi (terlebih dahulu).” Hadis
ini dinyatakan oleh
Rasulullah karena ada sebab khusus. Pada zaman Nabi saw. ekonomi para Sahabat
pada umumnya masih dalam keadaan sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja di
perkebunan kurma, memikul air di atas punggung mereka untuk melakukan
penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung
pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Pada suatu hari Jum’at Nabi saw. pergi ke
masjid dalam udara yang panas. Nabi menyampatkan khutbah Jum’at di atas mimbar
yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau
keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid dan jama’ah merasa
terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai ke mimbar Rasulullah saw. dan kemudian
Nabi bersabda: “Wahai sekalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at,
hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yangada
padanya!”
Jumhur
ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari Jum’at disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang
menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain-lain. Jika jama’ah tidak
mandi, maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan di dalam
masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian. Ketika
keadaan umat Islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka
terbuat dan kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika
hendak pergi ke shalat Jum’at, sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan
pada jamaah.
Jika diamati, maka kelihatan jelas bahwa
pendapat Jumhur ulama di atas dalam memahami hadis dengan menggunakan kaidah: “al-’ibrat
bi ‘umum al-lafz la bi khushus al-sabab”. Hadis Nabi yang menyatakan “Siapa
saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir karena
adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan
gangguan berupa bau tidak sedap yang ditimbulkannya di dalam ruangan masjid
yang sempit.
Muhammad Usman al-Khusyat, Mafatih ‘ulum al-hadis (Kairo:
Maktabah al-Qur’an, t.th.), h. 126
Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulu al-Qur’an (Al-Riyat:
Mansyurat
al-‘Ashr al-Hadis, t.th.), 78
M. Quraish Shihab, Tafsir Surat-surat Pendek (Jakarta:
Pustaka
Hidayah, 1997), h. 694
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan,
1992),
h. 90
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Ju. I (Jakarta: Wijaya,
1992), h. 260.;
Muslim, Shahih Muslim, Juz. 3 (Kairo: Mushthafa al-Babi
al-Hlalabi, t.t),
h. 2.
Ibn Hamzah al-Husaini, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-
Hadis al-Syarif (Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, juz I, tt.) h. 145-6.
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz I, (Kairo: Dar al-’Ulum,
1960), h.
8
Dengan
menerapkan kaidah diatas, maka hadis itu berlaku bagi siapa saja yang
kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis
tersebut.
Isi
hadis tersebut tidak mengikat kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan
pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula. Hanya saja jika perintah
dalam hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang bersangkutan.
Jika pemahaman hadis tersebut dilepaskan dari konteks asbab al-wurudnya,
maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada han Jum’at adalah wajib, sebagaimana
pendapat Daud al-Dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis
secara tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.
D. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Jarh menurut
muhadditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau
mencacatkan adalah kedhabitannya. Sedangkan Ta’dil adalah kebalikan dari jarh,
yaitu menilai bersih terhadap seserang rawi dan menghukuminya bahwa dia adil
atau dhabit. Sehingga pengertian ilmu jarh wa ta’dil adalah “timbangan” bagi
para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi
yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita dapat
mengetahui periwayatan yang bisa diterima haditsnya dan kita bisa membedakan
dengan periwayatan yang tidak dapat diterima haditsnya.
Selain menurut muhadditsin ilmu jarh wa ta’dil dapat di definisikan sebagai
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai
kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya
al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek”
yang melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya.
Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tesebut
cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di
nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang
lain) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat
pada periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya.
Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut `adil, sehingga hadis
yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih.
Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka yang diambil adalah
hadis shahih.
Syarat
– syarat diterimanya al-jarh wa al-ta’dil
Pertama, jarh wa ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi
segala syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil yaitu :
1.
Berilmu , bertaqwa, wara , dan jujur. Karena bila ia tidak
memiliki sifat – sifat ini , maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain
dengan jarh wa ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilan.
2.
Ia mengetahui sebab – sebab jarh wa ta’dil.
3.
Ia mengetahui penggunaan kalimat – kalimat dalm bahsa arab ,
sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya , atau
men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab –
sebabnya. Sedangakan ta’dil tidak disyaratkan harus disertai penjelasan sebab –
sebabnya. Ini karena sebab – sebab nya terlalu banyak. Adapun jarh tidak bisa
diterima kecuali dijelaskan sebab – sebabnya , ini karena dalam menentukan
sebab – sebab jarh setiap orang berbeda dengan yang lainnya.
‘ulumul al-hadits, hlm.78
Sehingga seseorang bisa dinilai jarh menurut persepsinya,
sementara pada hakikatnya tidak demikian. Oleh karenanya , jarh harus
dijelaskan sebabnya , agar dapat dilihat apakah benar jarhnua atau tidak.
E.
‘Ilmu rijal al-hadits
Ilmu rijal al-hadits dibagi menjadi dua , yauti ilmu tawarikh
aruwah dan ilmu jarh wa at-ta’dil secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu
tawarikh aruwah adalh ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan
kelahiran, wafat, peristiwa/ kejadian , dll. Jadi ilmu tawarikh aruwah adalah
ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari
segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa guru – gurunya atau dari siapa
mereka menerima sunah dan siapa murid –muridnya, atau kepada siapa mereka
menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan
tabi tabi’in. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung ( mustahil )
atau tidaknya sanad suatu hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan
langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa
berita ataukah tidak , atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi
melalui ilmu ini. Mustahilnya sanad ini nanti dijadikan salah satu syarat
keshahihan suatu hadits dari segi sanad. Pertama kali orang yang sibuk
memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah al bukhari ( w.256 h) kemudian
muhammad bin sa’ad (w.230 h ) dalam thabaqat-nya. Berikutnya, izzuddin bin al
atsir ( w.630 h) menulis usud al ghabah fi asma ash – sahabah , ibnu hajar al –
asqalani ( w.852 h) yang menulis al ishabah fi tamyiz ash sababah kemudian
diringkas oleh as suyuthi ( w911 h) dalam bukunya yang bernama ayn al ishabah
dan al fayat karya ibnu zabur muhammad bin abdullah ar rubbi (w. 379 h).
‘ulumul
al-hadits 1, hlm.83
‘ulumul
al-hadits 1, hlm.82
abdul
majid khon, ulumul hadis, hlm.94-95
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan dibuatnya makalah ini penulis
mampu memberi kesimpulan bahwa :
1.
Ulumul
hadist adalah ilmu yang membahas tentang hadist, dan ulumul hadist dibagi
menjadi dua yaitu hadist riwayat dan
hadist dirayah.
2.
Struktur
hadist adalah sanad (sandaran/ tumpuan matan hadist), matan (isi
hadist), rawi (orang meriwayat kan hadist).
3.
Asbabul
wurud adalah keadaan-keadaan dan hal ihwal yang menjadi sebab datangnya hadis
Nabi Saw
4.
Jarh
wa ta‘dil adalah “timbangan” bagi para
rawi hadits, rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang
ringan timbangannya ditolak riwayatnya.
5.
Rijalul
hadist adalah ilmu yang membahas keadaan setiap
perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang
meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu
yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.
B.Saran
Sesuai
dengan kesimpulan diatas, kami sebagai penulis menyarankan agar pembaca dapat
memahami tentang ulumul hadist dan pembagiannya, jarh wa ta’dil, rijalul
hadist, asbabul wurud.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Mizan
Muhsin, Imam.M.Ag.dkk. 2005.Al-Hadist. Yogyakarta: Pokja UIN
Sunan Kalijaga.
‘Itr ,Nur al-Din. 1992. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis.
Beurit: Dar al-Fikr
al-Suyutiy. 1998. Tadrib al-Rawiy fi Syrah Tagrib al-Nawawiy.
Beurit: Dar al-Fikr
Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir Surat-surat Pendek. Jakarta:
Pustaka
Hidayah
[1]
Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Ilmiyyah, t.th.), 155.
[2]
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Cet. III. Beurit: Dar
al-Fikr, 1992), 26
[3]
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1954), 20.
[4]
Hasbi ash-Shiddieqy, 23.
[5]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beurit: Dar
al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), 75.
[7]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 7.
[8] M.
Syuhudi Ismail, 62
[9]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 7.
[10]
Ibid., 16.
[11]
Lihat al-Suyutiy, Tadrib al-Rawiy fi Syrah Tagrib al-Nawawiy (Beurit: Dar
al-Fikr, 1998), 6.
[12]
Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 32-33.
[13]
Ibid., 32
[14]
Mahmud al-Tahhan, loc. Cit. dan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 33.
[15]
Ibid, Mahmud al-Tahhan, loc. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar