Sabtu, 12 Desember 2015

PENGERTIAN ULUMUL HADIST DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Ulumul hadist merupakan ilmu yang membahas berbagai ilmu dalam hadist, pembagianh hadist, jarh wa ta’dil, rijalul hadist, dan asbabul wurud.
            Oleh sebab itu kami akan membahas dalam makalah ini ulumul hadist dan pembagiannya, jarh wa ta’dil, rijalul hadist dan asbabul wurud, sehingga pembaca mampu memahami mengenei ilmu tersebut.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian ulumul hadist pembagianh hadist?
2.      Apa pengertian jarh wa ta’dil?
3.      Apa pengertian rijalul hadist, dan asbabul wurud?

C.    Tujuan dan Manfaat

1.      Mengetahui pengertian dari ulumul hadist dan bagiannya.
2.      Mengetaahui pengertian jarh wa ta’dil.
3.      Mengetahui pengertian rijalul hadist dan asbabul wurud.

D.     
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ulumul Hadist
Istilah Ulumul Hadist berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Ulumu dan Al-Hadist. Kata Ulum merupakan bentuk jama’ dari kata ‘ilm yang berarti gambaran sesuatu tentang akal.[1] Dalam kaca mata Nur al-Din ‘Itr, diartikan dengan sesuatu yang membedakan dengan ma’rifat.[2] Ilmu diungkap secara keseluruhan (kulliyah) sedangkan ma’rifat diungkap secara juz’iyyah. Sedangkan istilah al-Hadis secara etimologis berarti lawan qadium, sesuatu yang baru, kabar atau berita dari seseorang.[3]
Adapun hadis secara istilah memiliki arti yang bernacam-macam menurut perspektif ahli yang memberikan maknanya. Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw tetapi juga kepada sahabat nabi dan para tabi’in.
Dengan demikian , istilah ulumul al-Hadist adalah ilmu yang berkaitan dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini didasarkan atas banyaknya ragam dan macam keilmuan yang bersangkutan dengan hadis. Dari sinilah ulama mutaqadimin merumuskan ilmu hadis dengan ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah saw dari segi ihwal periwayatnya yang menyangkut ke-adil-an dank e-dabit-an dan dari sisi bersambung atau terputusnya sanad dan sebagainya.[4]
Secara global ruang lingkup kajian Ulumul al-Hadis terdiri dari dua bagian:

1.    Ilmu Hadis Riwayat
              Ilmu Hadis Riwayat adalah ilmu yang menukilkan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik perkataan, perbuatan, atau taqrir ataupun sifat anggota tubuh ataupun sifat-sifat perangainya.[5] 
              Tujuan pembahasan ilmu hadis riwayat dalah untuk mempelajari hadis dari sisi hubungannya dengan pribadi Nabi Muhammad saw untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[6] Di samping itu, ilmu ini juga bertujuan untuk menjaga sunnah secara tepat dan menjaga kesalahan atas penyalinan apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw.[7] Ulama hadis yang membahas hadis dalam perspektif ilmu riwayat ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H). Beliau menghimpun hadis atas instruksi Umar ibn ‘Abd al-Aziz.[8]

2.      Ilmu Hadis Dirayat
              Ilmu hadis dirayat adalah ilmu dalam arti khusus. Sebagaimana diungkapakan oleh Ibn Akhfani yaitu ilmu yang di dalamnya untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan yang berhubungan dengannya.[9] Dengan demikian, ilmu hadis dirayat adalah sekumpulan dari kaidah-kaidah dan masalah-masalah yang di dalamnya dapat diketahui keadaan riwayat dan periwayat dari sisi diterima atau ditolak.
              Objek kajian ilmu hadis tersebut adalah sanad, rawi, dan matan hadis. Sedangkan tujuan dari mempelajari ilmu hadis dirayat adalah untuk mengetahui dan menetapkan diterima atau ditolaknya suatu hadis.
              Pembahasan ilmu dirayat sudah dilaksanakan sejak abad ke-2 H. Namun pembahasan pada saat itu masih terserak-serak dalam berbagai kitabdan belum dimasukkan dalam kitab khusus serta belum menjadi disiplin keilmuwan tersendiri. Diantara ulama hadis yng membicarakannya adalah Ali ibn Madani (161-234 H), Bukhari (198-252 H), Muslim (204-261 H), dan al-Turmuzi (200-279).

B.     Struktur Hadis
1.      Sanad
            Sanad secara bahasa dapat diartikan dengan sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran.[10] Sedangkan menurut istilah sebagaimana diungkap oleh al-Badr ibn al-Jama’ah dan al-Tibby, keduanya menyatakan bahwa sanad adalah pemberitaan tentang munculnya suatu matan hadis.[11] Sedangkan ulama lain memberikan pengertian yaitu silsilah atau rentetan para periwayat yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.[12] Dengan demikian dapat dikatakan sanad adalah jalan yang menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad saw.



Rawi (Periwayat)
            Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadis dalam suatu kitab apa yang pernah diterimanyadari seorang gurunya.[13] Periwayat hadis dapat disebut juga dengan orang yang memberitakan suatu hadis atau meriwayatkannya.

2.      Matan
            Matan menurut bahasa adalah punggung jalan, tanah yang keras dan tinggi.[14] Sedangkan dalam istilah hadis matan adalah sabda nabi yang disebut dengan teks hadis.[15]

Contoh dari sanad, matan, dan rawi:
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابى سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله ص.م. بني الاسلام على خمس شهادة ان لااله الاالله وان محمد رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج وصوم رمضان.
(
رواه البخار)
1.      Sanad:
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابى سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال:
2.      Matan:
قال رسول الله ص.م. بني الاسلام على خمس شهادة ان لااله الاالله وان محمد رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج وصوم رمضان
3.      Rawi
رواه البخار

C.     Makna Asbabal-Wurud
                 Asbab al-wurud al-hadis didefinisikan sebagai keadaan-keadaan dan
hal ihwal yang menjadi sebab datangnya hadis Nabi Saw. Dengan membandingkan pada pembahasan ulama tafsir, mereka memperkenalkan dua macam asbab al-nuzul, yaitu:
a. Asbab al-nuzul al-khas, yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya
     suatu ayat.6
b. Asbab al-Nuzul al-‘Am, yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannya oleh ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya al-Qur’an (setting sosial).
Dengan analogi pada Asbab al-Nuzul, maka Asbab al-Wurud juga bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu Asbab al-Wurud al-Khash dan Asbab
al-Wurud al-’Am dengan pengertian sebagaimana dinyatakan diatas. Dalam Asbab al-Wurud tercakup tiga hal pokok yang tidak dapat diabaikan, yaitu : (1) peristiwa, (2) pelaku dan (3) waktu, yang masingmasing mempunyai kontribusi untuk memberi makna sebuah teks hadis.
Dalam kaitannya dengan teks (Al-Qur’an dan al-Hadis) yang lahir
karena sebab-sebab tertentu, mayoritas Ulama mengemukakan kaidah: al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafal, bukan sebab khususnya). Dengan berpijak pada kaidah ini, pandangan menyangkut Asbab al-Wurud dan pemahaman hadis seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan waktu terjadinya serta pelaku kejadian tersebut. Dengan menggunakan kaidah itu, maka teks yang bersifat umum (‘am) yang muncul atas sebab tertentu mencakup individu yang mempunyai sebab itu dan lain-lainnya. Dan tidak boleh dipahami bahwa lafal ‘am itu hanya dihadapkan kepada orang-orang tertentu saja. Ibn Taimiyah berkata bahwa para Ulama walaupun berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran sesuatu sebab, apakah khusus bagi sebab itu, namun tak ada seorangpun yang menyatakan bahwasanya keumuman Al-Qur’an dan al-Sunnah khususdengan orang-oarang tertentu. Hanya saja paling jauh dikatakan bahwa keumuman lafal itu tertentu dengan orang-orang yang semacam itu lalu ia mencakup orang-orang yang menyerupainya. Dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab yang tertentu jika merupakan perintah atau larangan, maka ia mencakup oranga-orang itu dan selainnya, yang sama keadaannya/kedudukannya. Lafal ‘am dalam sebuah teks walaupun munculnya karena dilatarbelakangi oleh sebab-sebab khusus, ia mencakup seluruh individu yang bisa ditampung oleh teks itu, tidak tertentu dan terbatas berlakunya hanya kepada individu yang menjadi sebab khusus iahimya teks. Untuk memahami asbabul al-wurud berikut contoh hadis dan sebab peristiwa turunnya hadis tersebut.
Hadis tentang Mandi Jum’at
Imam Bukhari dan Muslim meriwayat -an hadis dari A dullah Ibn Umar sebagai berikut : “Apabila salah seorang di antara kamu sekalian mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah mandi (terlebih dahulu).” Hadis
ini dinyatakan oleh Rasulullah karena ada sebab khusus. Pada zaman Nabi saw. ekonomi para Sahabat pada umumnya masih dalam keadaan sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja di perkebunan kurma, memikul air di atas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Pada suatu hari Jum’at Nabi saw. pergi ke masjid dalam udara yang panas. Nabi menyampatkan khutbah Jum’at di atas mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai ke mimbar Rasulullah saw. dan kemudian Nabi bersabda: “Wahai sekalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at, hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yangada padanya!”
Jumhur ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari Jum’at disebabkan oleh banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain-lain. Jika jama’ah tidak mandi, maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan di dalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian. Ketika keadaan umat Islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dan kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi ke shalat Jum’at, sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jamaah.
 Jika diamati, maka kelihatan jelas bahwa pendapat Jumhur ulama di atas dalam memahami hadis dengan menggunakan kaidah: “al-’ibrat bi ‘umum al-lafz la bi khushus al-sabab”. Hadis Nabi yang menyatakan “Siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang ditimbulkannya di dalam ruangan masjid yang sempit.


Muhammad Usman al-Khusyat, Mafatih ‘ulum al-hadis (Kairo:
Maktabah al-Qur’an, t.th.), h. 126
Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulu al-Qur’an (Al-Riyat: Mansyurat
al-‘Ashr al-Hadis, t.th.), 78
M. Quraish Shihab, Tafsir Surat-surat Pendek (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1997), h. 694
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992),
h. 90
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Ju. I (Jakarta: Wijaya, 1992), h. 260.;
Muslim, Shahih Muslim, Juz. 3 (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Hlalabi, t.t),
h. 2.
Ibn Hamzah al-Husaini, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-
Hadis al-Syarif (Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, juz I, tt.) h. 145-6.
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz I, (Kairo: Dar al-’Ulum, 1960), h.
8
Dengan menerapkan kaidah diatas, maka hadis itu berlaku bagi siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut.
Isi hadis tersebut tidak mengikat kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula. Hanya saja jika perintah dalam hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang bersangkutan. Jika pemahaman hadis tersebut dilepaskan dari konteks asbab al-wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada han Jum’at adalah wajib, sebagaimana pendapat Daud al-Dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.

D.   Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah kedhabitannya. Sedangkan Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seserang rawi dan menghukuminya bahwa dia adil atau dhabit. Sehingga pengertian ilmu jarh wa ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui periwayatan yang bisa diterima haditsnya dan kita bisa membedakan dengan periwayatan yang tidak dapat diterima haditsnya.
Selain menurut muhadditsin ilmu jarh wa ta’dil dapat di definisikan sebagai Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut `adil, sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.

Syarat – syarat diterimanya al-jarh wa al-ta’dil
     Pertama, jarh wa ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil yaitu :
1.      Berilmu , bertaqwa, wara , dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat – sifat ini , maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan jarh wa ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilan.
2.      Ia mengetahui sebab – sebab jarh wa ta’dil.
3.      Ia mengetahui penggunaan kalimat – kalimat dalm bahsa arab , sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya , atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.

Kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab – sebabnya. Sedangakan ta’dil tidak disyaratkan harus disertai penjelasan sebab – sebabnya. Ini karena sebab – sebab nya terlalu banyak. Adapun jarh tidak bisa diterima kecuali dijelaskan sebab – sebabnya , ini karena dalam menentukan sebab – sebab jarh setiap orang berbeda dengan yang lainnya.



 ‘ulumul al-hadits, hlm.78
Sehingga seseorang bisa dinilai jarh menurut persepsinya, sementara pada hakikatnya tidak demikian. Oleh karenanya , jarh harus dijelaskan sebabnya , agar dapat dilihat apakah benar jarhnua atau tidak.

E.     ‘Ilmu rijal al-hadits
     Ilmu rijal al-hadits dibagi menjadi dua , yauti ilmu tawarikh aruwah dan ilmu jarh wa at-ta’dil secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu tawarikh aruwah adalh ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/ kejadian , dll. Jadi ilmu tawarikh aruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa guru – gurunya atau dari siapa mereka menerima sunah dan siapa murid –muridnya, atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi tabi’in. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung ( mustahil ) atau tidaknya sanad suatu hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak , atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Mustahilnya sanad ini nanti dijadikan salah satu syarat keshahihan suatu hadits dari segi sanad. Pertama kali orang yang sibuk memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah al bukhari ( w.256 h) kemudian muhammad bin sa’ad (w.230 h ) dalam thabaqat-nya. Berikutnya, izzuddin bin al atsir ( w.630 h) menulis usud al ghabah fi asma ash – sahabah , ibnu hajar al – asqalani ( w.852 h) yang menulis al ishabah fi tamyiz ash sababah kemudian diringkas oleh as suyuthi ( w911 h) dalam bukunya yang bernama ayn al ishabah dan al fayat karya ibnu zabur muhammad bin abdullah ar rubbi (w. 379 h).


‘ulumul al-hadits 1, hlm.83
                   ‘ulumul al-hadits 1, hlm.82
abdul majid khon, ulumul hadis, hlm.94-95
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dengan dibuatnya makalah ini penulis mampu memberi kesimpulan bahwa :
1.      Ulumul hadist adalah ilmu yang membahas tentang hadist, dan ulumul hadist dibagi menjadi dua yaitu  hadist riwayat dan hadist dirayah.
2.      Struktur hadist adalah sanad (sandaran/ tumpuan matan hadist), matan (isi hadist), rawi (orang meriwayat kan hadist).
3.      Asbabul wurud adalah keadaan-keadaan dan hal ihwal yang menjadi sebab datangnya hadis Nabi Saw
4.      Jarh wa ta‘dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadits, rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya.
5.      Rijalul hadist adalah ilmu yang membahas keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.

B.Saran
Sesuai dengan kesimpulan diatas, kami sebagai penulis menyarankan agar pembaca dapat memahami tentang ulumul hadist dan pembagiannya, jarh wa ta’dil, rijalul hadist, asbabul wurud.





DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan
Muhsin, Imam.M.Ag.dkk. 2005.Al-Hadist. Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga.
‘Itr ,Nur al-Din. 1992. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis. Beurit: Dar al-Fikr
al-Suyutiy. 1998. Tadrib al-Rawiy fi Syrah Tagrib al-Nawawiy. Beurit: Dar al-Fikr
Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir Surat-surat Pendek. Jakarta: Pustaka
Hidayah







[1] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah, t.th.), 155.
[2] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Cet. III. Beurit: Dar al-Fikr, 1992), 26
[3] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), 20.
[4] Hasbi ash-Shiddieqy, 23.
[5] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beurit: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), 75.
6 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu hadis (Bandung: Angkasa, 1991), 62.
[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 7.
[8] M. Syuhudi Ismail, 62
[9] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 7.
[10] Ibid., 16.
[11] Lihat al-Suyutiy, Tadrib al-Rawiy fi Syrah Tagrib al-Nawawiy (Beurit: Dar al-Fikr, 1998), 6.
[12] Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 32-33.
[13] Ibid., 32
[14] Mahmud al-Tahhan, loc. Cit. dan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, 33.
[15] Ibid, Mahmud al-Tahhan, loc. Cit.